BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita sering mendengar beberapa
hal tentang Mahkamah Konstitusi,
terutama dalam masalah Putusan Mahkamah Konstitusi sering mengagetkan banyak orang.
Walaupun lembaga ini masih baru, kurang dari 5 tahun[1],
banyak putusannya yang dapat dikatakan sangat berani dan menimbulkan
perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta para politisi. Beberapa putusannya
yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara
lain mengenai dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30
S/PKI[2],
menyatakan tidak mempnuanyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan
undang-undang ketenagalistrikan[3],
menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK)[4]
yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri, menyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat beberapa pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya. Terakhir, yang menghebohkan adalah
surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan”
Presiden bahwa dalam penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah
Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004 (Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang telah menyatakan
beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perkembangan terakhir ini telah
menimbulkan perdebatan tentang posisi MK dalam format ketatanegaraan RI.
Bagaimana mungkin sembilan hakim konstitusi dapat menggugurkan putusan berupa
produk undang-undang yang telah diputuskan oleh 550 orang anggota DPR bersama
Presiden. Persoalan yang lebih jauh lagi, dengan suratnya kepada Presiden
tersebut, MK seakan-akan hendak mengawasi dan “mengeksekusi” sendiri
pelaksanaan putusannya agar dihormati.
B. Identifikasi
Masalah
1. Bagaimanakah posisi MK dalam format
ketatanegaraan RI ?
2. Bagaimanakah hubungan MK dengan
lembaga-lembaga negara lainnya serta impelementasi pelaksanaan berbagai
putusannya ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar dan Perkembangan
Mahkamah Konstitusi
Pembentukan mahkamah konstitusi
sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang
secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah
Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan
konstitusi (undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru
besar kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya
suatu lembaga yang diberi nama ‘Verfassungsgerichtshoft’ atau
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian
diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun
1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920
sebagai Konstitusi Federal Austria.[5] Menurut
Hans Kelsen[6] kemungkinan
muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih
rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan
pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan
undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari undang-undang.
Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika
sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan
konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan
ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau
pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu
undang-undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen[7] menyatakan:
“There may be a special organ established for this purpose,
for instance, a special court, as so-called “constitutional court” or the
control of the constituionality of statutes, the so called “judicial review”
may be conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme
court.”
Menurut Hans Kelsen[8],
suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah
konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain. Jika
pengadilan biasa berwenang untuk menilai konstitusionalitas dari suatu
undang-undang hanya berhak menolak untuk menerapkannya atau mengesampingkannya
dalam kasus-kasus konkrit yang diputuskan, tetapi organ yang lainnya tetap
berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu undang-undang tidak
dinyatakan tidak berlaku, adalah tetap “constitutional” dan
tidak “unconstitutional”, walaupun rasanya undang-undang itu
bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat
dinyatakan tidak berlaku oleh pembentuk undang-undang yaitu legislatif dan juga
dapat dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini
tidak lepas pelaksanaan teori hukum murni dan teori hiraki norma yang sangat
terkenal yang dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum
yang superior dari undang-undang biasa.
Jadi pada awalnya mahkamah
konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji
konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu
undang-undang terhadap konstitusi. Karena itu mahkamah konstitusi sering
disebut sebagai “the guardian of the constitution” (pengawal
konstitusi).
Dengan kewenangannya yang dapat
menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang, posisi mahkamah
konstitusi berada ada di atas lembaga pembentuk undang-undang. Itulah sebabnya
sejak awal Hans Kelsen telah menyatakan sebagaimana telah ditulis di awal
tulisan ini bahwa lembaga ini dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas
legislatif dan mestinya secara politik tidak dikehendaki, khususnya jika
memutuskan bahwa suatu undang-undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi
negara-negara yang menempatkan superioritas parlemen yang cukup besar karena
dianggap cerminan kedaultan rakyat, tidak menempatkan mahkamah konstitusi dalam
posisi di atas pembentuk undang-undang, seperti Dewan Konstitusi Perancis yang
hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang
yang telah dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan. Bahkan Kerajaan
Inggeris dan Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan
prinsip bahwa parlemenlah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui
sah tidaknya suatu undang-undang.[9]
Dalam perkembangannya, konsep dasar
pembentukan mahkamah konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan
perkembangan prinsip-prinsip dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh
berbagai negara yang menganut prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum,
prinsip check and balances, prinsip demokrasi dan jaminan
perlindungan hak asasi manusia prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
serta pengalaman politik dari masing-masing negara. Keberadaan mahkamah konstitusi
dibutuhkan dalam menegakkan prinsip-prinsip tersebut.
Konstitusionalisme merupakan paham
yang berprinsip bahwa pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara
harus berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap
konstitusi tidak dapat ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan yang tiran
dan semena-mena. Karena itu prinsip konstitusonalisme juga terkait dengan
prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan (check and balances),yaitu
kekuasaan lembaga-lembaga negara dibagi secara seimbang. Kekuasaan negara tidak
boleh bertumpu pada satu lembaga negara karena akan dapat menimbulkan
penyelahgunaan kekuasaan negara. Dalam mengawasi pelaksanaan kekuasaan
lembaga-lembaga negara tersebut, agar tetap sesuai dengan kehendak rakyat
diperlukan prinsip demokrasi dan penghormatan atas hak asasi mansuia. Artinya,
karena kekuasaan negara bersumber dari rakyat maka akan selalu dapat dikontrol
oleh rakyat dan selalu mengormati hak-hak dasar rakyat. Alat ukur bagi rakyat
untuk mengawasi penyelenggaraan kekuasaan negara oleh lembaga negara adalah
hukum dan konstitusi. Disnilah prinsip negara hukum dan rule of law menjadi
penting. Untuk menilai secara obyektif dan independen apakah suatu tindakan
negara (lembaga-lembaga negara) melanggar konstitusi atau hukum, dibutuhkan
suatu lembaga yang mengadili dan memutuskannya yang dijamin oleh konstitusi. Di
sinilah konsep dasar dibutuhkannya mahkamah konstitusi yang berkembang sekarang
ini.
Putusan pembentuk undang-undang yang
berupa undang-undang (di Indonesia adalah DPR dan Presiden), dapat saja
bertentangan dengan ketentuan konstitusi, karena lembaga DPR dan Presiden
adalah lembaga politik, baik karena kekeliruan dalam mengimplementasikan
ketentuan konstitusi (undang-undang dasar) maupun karena kesengajaan untuk
membentuk undang-undang bagi kepentingan melanggengkan kekuasaan politik, dapat
diminta untuk ditinjau kembali dan diuji oleh mahkamah konstitusi apakah sesuai
atau bertentangan dengan konstitusi. Jika bertentangan dengan konstitusi,
undang-undang tersebut dapat duinayatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum oleh mahkamah konstitusi. Demikian juga halnya yang berkembang
dari prinsip pembagian kekuasaan antar lembaga negara yang mungkin timbul
sengketa perebutan kewenangan antar lembaga negara, ditbutuhkan suatu mahkamah
yang independen untuk mengadili dan memutuskannya yang sengaja diberi
kewenangan oleh konstitusi untuk itu. Karena itu di negara-negara yang tradisi
kehidupan konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi mansuianya masih baru, keberadaan
mahkamah konstitusi mejadi daya tarik yang sangat luar biasa. Seperti
dikemukakan oleh Jimliy Asshiddiqy, hampir semua negara-negara demokrasi baru
di Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan terakhir eks negara-negara komunis di
Eropa Timur mengadopsi pembentukan mahkamah konstitusi.[10]
Walaupun demikian, di berbagai
negara mahkamah konstitusi bukanlah satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan
menyatakan inkonstituisionalitas dari suatu undang-undang atau memutus masalah
kostitusional lainnya. Di banyak negara lainnya pengujian konstitusionalitas
dari suatu undang-undang menjadi kewenangan mahkamah agung seperti Amerika
Serikat yang telah memulai sejak tahun 1803 dalam kasus Marbury vs Madison.
Bahkan di banyak negara lainnya tidak dikenal pengujian undang-undang baik oleh
mahkmah konstitusi maupun oleh mahkamah agung seperti antara lain yang dianut
oleh Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris.
Setelah dibentuk pertama kali
berdasarkan Konstitusi Wina tahun 1920 mahkamah konstitusi terus diadopsi oleh
berbagai negara. Sekarang mahkamah konstitusi telah ada di 78 negara termasuk
Indonesia[11].
Namun demikian kewenangan mahkamah konstitusi juga meluas yang tidak saja hanya
untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar
seperti dikonsepsikan oleh Hans Kelsen–walaupun fungsi utama dari mahkamah
konstitusi yang selalu sama di setiap negara adalah menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap undang-undang dasar–tetapi juga memiliki
kewenangan-kewenangan lainnya yang berhubungan dengan lingkup hukum
ketatanegaraan, seperti memutus sengketa pemilu, sengketa kewenangan antar
lembaga negara, pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, memutus
konstitusionalitas dari seluruh peraturan perundang-undangan, serta mengadili constitutional
complaint[12]dari
warga negara. Putusan mahkamah konstitusi dalam menjalankan berbagai
kewenangannya tersebut bersifat final. Atinya sekali mahkamah konstitusi
memutuskan suatu persoalan yang diajukan kepadanya dalam lingkup kewenangannya
dan tidak ada upaya hukum lain untuk melawannya.
Sebagai contoh Mahakamh Konstitusi
Austria yang dibentuk sejak tahun 1920, memiliki 9 kewenangan, yaitu :
·
pengujian
konstitusionalitas undang-undang,
·
pengujian
legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
·
pengujian
perjanjian internasional,
·
perselisihan
pemilihan umum,
·
peradilan impeachment,
·
Kewenangan
sebagai peradilan administrasi khusus yang terkait dengan constitutional
complaint individu warga negara,
·
Sengketa
kewenangan dan pendapatan keuangan antar negara bagian dan antara negara bagian
dengan federal,
·
Sengketa
kewenangan antar lembaga negara, dan
·
Kewenangan
memberikan penafsiran undang-undang dasar.[13]
B. Mahkamah Konstitusi RI dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Pemikiran mengenai pentingnya suatu
mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum
merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin
telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan
untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo
berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang
kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada
saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman
mengenai hal ini.[14]
Ide pembentukan Mahkamah konstitusi
pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota Badan
Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada
bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama
UUD 1945, bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh
atas temuannya dalam studi banding tersebut. Walaupun demikian pada Sidang
Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan rumusan mengenai mahkamah
konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum final[15].Sesuai
rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah
agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang;
memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan
lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar
kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan
putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah.
Setelah dibahas kembali pada masa
sidang PAH I BP MPR RI tahun 2000/2001, yaitu dalam rangka persiapan draft
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara repbulik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) untuk disahkan pada sidang tahunan 2001, terjadi banyak perubahan
mengenai rumusan tentang mahkamah konstitusi. Persoalan pokok yang pertama
adalah apakah mahkamah konstitusi ditempatkan di lingkungan mahkamah agung atau
ditempatkan terpisah dari lingkungan mahkamah agung tetapi masih dalam rumpun
kekuasaan kehakiman, dan persoalan kedua apa saja yang menjadi kewenangan
mahkamah konstitusi.
Pertama, disepakati bahwa mahkamah
konstitusi ditempatkan terpisah dan di luar lingkungan mahkamah agung akan
tetapi tetap dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dengan pertimbangan bahwa
lembaga ini adalah lembaga yang sangat penting untuk membangun negara yang
berdasar sistem konstitusionalisme, sehingga lembaga ini berdiri sejajar dengan
lembaga-lembaga negara lainnya yang secara tegas ditentukan kedudukan dan
kewenangannya dalam undang-undang dasar.
Terdapat kekhawatiran bahwa mahkamah
agung tidak akan mampu membawa misi besar mahkamah konstitusi untuk membangun
sistem konstitusionalisme karena pekerjaan mahkamah agung yang pada saat itu
tidak mampu menyelesaikan perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali yang
menumpuk. Jika ditambah lagi dengan tugas-tugas mahkamah konstitusi
dikhawatirkan pekerjaan mahkamah agung akan terbengkalai. Pada sisi lain
dibutuhkan satu mahkamah tersendiri yang berdiri sejajar dengan mahkamah agung
dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk menjalankan tugas mengawal sistem
konstitusionalisme Indonesia. Dengan demikian posisi mahkamah konstitusi dalam
ketatanegaraan Indonesia menjadi kuat.
Kedua, kewenangan mahkamah
konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-undang
dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi
akan menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar
lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam undang-undang dasar, karena
itu sumber kewenangan mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang
dasar. Dengan demikian tidak ada ada satu lembaga negara yang dapat
mempermasalahkan atau menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Pada sisi lain
mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi tidak melakukan
tindakan atau memberikan putusan yang keluar dari kewenangannya yang secara
limitatif ditentukan dalam undang-undang dasar. Demikian juga halnya pembentuk
undang-undang tidak dapat mengurangi kewenangan mahkamah konstitusi melalui
ketentuan undang-undang sehingga melumpuhkan ide dasar pembentukan mahkamah
konstitusi. Dengan prinsip inilah dihapus kesepakatan awal yang memungkinkan
adanya kewenangan lain mahkamah konstitusi yang ditentukan undang-undang
sebagaiman draft awal PAH I BP MPR RI tahun 2000.
Menurut UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi RI, memiliki 4 kewenangan, yaitu :
·
menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar,
·
memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang
dasar;
·
memutus
pembubaran partai politik;
·
memutus
perselisihan tentang hasil pemlihan umum.
Disamping itu dalam rangka proses
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, atas permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi RI berkewajiban untuk memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atu Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Pembentukan mahkamah konstitusi
diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip
konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai
puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam
rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah
yang menjaga konstitusionalitas hukum itu.
Pembentukan mahkmah konstitusi juga
terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang
sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan
berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi
yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya,
sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai
penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas
konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa
antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III
Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan
kinerjanya kepada MPR setiap tahun.
Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2)
tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan
masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas
dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR
melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang
dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal
tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi
merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara
lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus
sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga
lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan
wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.
Kewenangan mahkamah konstitusi yang
dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan atas suatu undang-undang produk
legislatif produk DPR dan Presiden serta memutuskan sengketa antar lembaga
negara, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara
lainnya. Hal ini wajar saja karena Undang-Undang Dasar memberikan otoritas
kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir paling absah dan authentik terhadap
konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum mahkamah
konstitusi yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya
atas permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk
mengadili dan memutus suatu perkara.
Dengan posisi yang demikian penting
itu undang-undang dasar menetapkan kwalifikasi yang sangat ketat bagi anggota
mahkamah konstitusi, antara lain memiliki integiritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi juga merepresentasikan tiga unsur
lembaga negara yaitu masing-masing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh
presiden, DPR dan mahkamah agung.
C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan
Lembaga Negara Lainnya
1.
Hubungan
Mahkamah Konstitusi dengan Presiden
Dalam UUD 1945 hanya ada dua aspek
yang secara eksplisit menunjukkan hubungan antara Mahkamah Konstitusi denga
Presiden yaitu pada proses pemberhentian presiden dan pada penunjukkan dan
penetapan hakim konstitusi. Dalam proses pemberhentian presiden posisi mahkamah
konstitusi bersifat pasif, yaitu hanya menunggu pengajuan permintaan pendapat
(pendapat hukum) dari DPR, tentang tindakan presiden yang dianggap telah
melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun dianggap
telah tidak memenuhi syarat sebagai presiden, sebagai syarat untuk dapat
mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR.
Jika mahkamah konstisui memutuskan
bahwa ternyata dari sisi hukum pendapat DPR memiki dasar hukum dan konstitusi
sehingga mahkamah konstitusi mengabulkan pendapat DPR, maka DPR dapat
mengajukan pengusulan pemberhentian presiden kepada MPR. Sebaliknya jika
mahkamah konstitusi tidak membenarkan atau menolak pendapat DPR, maka proses pengusulan
pemberhentian itu dihentikan.[16]
Disamping itu, 3 dari 9 orang hakim
konstitusi diajukan atau ditunjuk oleh Presiden yang menunjukkan adanya
representasi lembaga presiden dalam kompisisi anggota mahkamah konstitusi.
Tetapi dalam melaksanbakan tugasnya hakim konstitusi yang berasal dari lembaga
manapun berkerja secara independen, dan tidak terpengaruh pada pendapat atau
pandangan dari lembaga negara yang mengajukannya. Presiden sebagai kepala
negara menetapkan pengangkatan para hakim konstitusi yang telah diajukan oleh
masing-masing lembaga negara dan mengucapkan sumpah di hadapan presiden.
Secara implisit banyak hubungan
lainnya yang terbangun antara presiden dengan mahkamah konstitusi terutama
terkait dengan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan penyelenggara
administrasi negara. Mahkamah konstitusi akan selalu membutuhkan bantuan
pelayanan administrasi dari presiden selaku penyelenggara administrasi negara
serta dukungan anggaran dan keuangan serta fasilitas bagi penyelenggaraan tugas
dan fungsi mahkamah konstitusi yang ditetapkan oleh presiden bersama dengan
DPR.
2.
Hubungan
Mahkamah Konstitusi dengan DPR
Selain dalam hubungannya dengan
penunjukkan 3 orang hakim konstitusi yang diajukan atau ditunjuk oleh DPR,
secara eksplisit hubungan antara mahkamah konstitusi dengan DPR hanya terkait
dengan proses pemberhentian presiden sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya.
3.
Hubungan
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung
Mahkamah konstitusi dan mahkamah
agung sama-sama berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kedua lembaga tersebut
harus menghormati prinsip-prinsip yang dianut dalam proses peradilan dan
prinsip negara hukum. Walaupun mahkamah agung tidak berwenang untuk menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar bukan berarti dalam memutuskan suatu
perkara yang diajukan kepadanya, mahkamah agung tidak berwenang untuk menilai suatu
undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Dalam menghadapi kasus-kasus
konkrit, mahkamah agung dalam rangka menegakkan keadilan dan yang adil (just
law) dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang dasar. Akan tetapi mahkamah agung tidak dapat menyatakan
bahwa ketentuan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena hal itu adalah kewenangan ekslusif dari mahkamah konstitusi. Artinya
ketentuan undang-undang tetap berlaku dan tetap dapat diterapkan oleh lembaga
manapun dalam kasus-kasus lain, sepanjang tidak dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat oleh mahkamah konstitusi.
Mahkamah konstitusi dengan
kewenangannya dapat melakukan pengujian dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat atas ketentuan undang-undang yang dijadikan dasar oleh mahkamah
agung dalam memutus suatu perkara kasuistis. Akan tetapi mahkamah konstitusi
tidak dapat membatalkan putusan mahkamah agung, karena bukan kewenangannya
sebagaimana ditentukan undang-undang dasar.
4.
Hubungan
Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang Lainnya
Mehkamah konstitusi merupakan tempat bagi lembaga-lembaga
negara lainnya untuk mengadu dan meminta keputusan mengenai lembaga negara yang
mana yang memiliki landasan konstitusionalitas wewenang yang benar jika terjadi
sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa kewenangan bisa terjadi
antara DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), antara presiden dengan DPR
atau antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan presiden dan lain-lain. Hal
yang masih menjadi soal yang sering dipertanyakan adalah bagimana memutuskannya
jika terjadi sengketa kewenangan antara mahkamah konstitusi dengan lembaga
negara yang lainnya. Siapa yang harus memutuskan. Secara teori tidak mungkin
mahkamah konstitusi yang akan memutuskan sengketa demikian karena akan
terjadi conflict of interest, sama halnya dengan seorang hakim yang
dilarang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya sendiri. Walaupun pada saat
perumusan perubahan UUD 1945 di PAH I BP MPR dan pembahasan RUU tentang
Mahkamah Konstitusi di DPR masalah ini dibicarakan tetapi tidak ada suatu
solusi yang diberikan, kecuali menyerahkan pada praktek ketatanegaraan.
Mahkamah konstitusi diharapkan bijak untuk tidak bersengketa kewenangan dengan
lembaga negara lainnya atau mengambil kewenangan lembaga negara yang lain.
Disnilah kewibawaan mahkamah konstitusi ditunjukkan agar dihormati dalam
praktek kenegaraan.
D. Pelakasanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah konstitusi pada dasarnya
adalah sebuah mahkamah ketatanegaraan yang sesungguhnya adalah sebuah mahkamah
politik. Seperti halnya peradilan tata usaha negara yang tidak ada upaya paksa
dalam pelaksanaan putusannya kecuali diserahkan pada kepatuhan terhadap hukum
dari lembaga atau pejabat negara yang dikenai putusan itu. Dalam kasus
pelaksanaan putusan MPR yang telah memutuskan untuk memberhentikan Presiden
Abdurrahman Wahid, orang berpikir bagaimana mengeksekusi putusan itu, karena
Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu menyatakan tidak akan meninggalkan
istana negara karena menganggap putusan MPR adalah tidak sah. Undang-undang
dasar maupun undang-undang tidak menentukan bagaimana eksekusi pelaksanaan
putusan lembaga MPR itu.
Disnilah ciri khas putusan sebuah
peradilan dan lembaga politik yang berbeda dengan peradilan pidana atau perdata
yang dapat meminta bantuan alat negara untuk mengekesekusi secara paksa
pelaksanaan suatu putusan peradilan. Karena itu saya sangat setuju dengan
istilah “keadilan dan keadaban” yang dikemukan oleh Jimly Asshiddiqy,[17] dalam
memahami sila kedua dari Pancasila. Keadilan hanya akan dapat dipahami dengan
baik dalam masyarakat yang beradab, dan sebaliknya masyarakat yang beradab
pasti akan memahami dan menaati hukum dengan penuh kesadaran tanpa harus
dipaksa. Kekuatan sebuah putusan mahkmah konstitusi terkandung dalam putusanya
yang menghormati prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, keadilan
serta kenegarawanan. Putusan demikian memiliki kekuatan politik untuk
memperoleh dukungan dari rakyat pemegang kedaulatan.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Mahkamah
konstitusi merupakan lembaga negara yang baru yang diintrodusir pada perubahan
UUD 1945, untuk menjaga kemurnian konstitusi dengan kewenangan untuk menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar serta
kewenangan lainnya yang terkait dengan fungsinya sebagaithe guardian of the
constitution, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,
memutus sengketa pemilu, memutus pembubaran partai politik serta mengadili dan
memutuskan pendapat DPR mengani usul pemberhentian presiden.
2.
Posisi
mahkmah konstitusi nampak lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya ketika
memutus konstitusionalitas dari suatu ketentuan undang-undang. Walaupun
demikian sesungguhnya dalam struktur ketatanegaran RI, posisi mahkamah
konstitusi sejajar dengan lembaga negara yang lainnya dengan kewenangan yang
secara limitatif diberikan undang-undang dasar.
3.
Mahkamah
konstitusi bersifat pasif, hanya memutus perkara yang diajukan kepadanya dan
tidak dapat memberikan fatwa selain dalam hubungan dengan putusan perkara yang
diajukan kepadanya sesuai kewenangan yang ditentukan undang-undang dasar.
Pelaksanaan putusan mahkmah konstitusi berada ditangan lembaga negara yang
dikenai atau terkait putusan itu.
DAFTAS
PUSTAKA
Didit Hariadi Estiko & Suhartono, Mahkamah
Konstitusi, Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi, Jakarta: Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2003.
Jimli Asshiddiqy, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Cet.I, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
——————–, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
——————–, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bahan Ceramah yang disampaikan di
Universitas Mataram tanggal 27 Septemebr 2005.
—————- dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi:
Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 78
Negara, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2003.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,
Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961.
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Repblik Indonesia, Panduan
Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Repblik Indonesia Tahun 1945,
Latar Belakang Proses, dan Hasil Perubahan UUD NRI Tahun 1945, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003.
——————-, Risalah Rapat PAH I Badan Pekerja MPR RI
tahun 2000-2001-2002, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003
Refly Harun, at.al. Editor, Menjaga Denyut
Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2004
Zoelva, Hamdan., Impeachment Presiden ,
Alasan-alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005
[1] Sampai pada bulan agustus 2005, telah teregistrasi 69
perkaran pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar di Mahkamah
Konstitusi RI. Dari seluruh perkara tersebut, 63 perkara (91,3%) telah diputus
oleh MK dan dari 63 perkara yang diputus tersebut, ada 20 perkara (31,8%) yang
dikabulkan oleh MK. Jadi ada 20 undang-undang yang telah dinayatkan oleh MK
baik sebagian maupun seluruh pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat
[2] Putusan Perkara No. 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24
Pebruari 2004, yaitu perkara pengujian UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
[3] Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, Pengujian UU
Na. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Berita Negara RI No.102 Tahun 2004
tanggal 21 Desember 2004
[4] Putusan Perkara Pengujian UU No. 24/2004 tentang
Mahkamah Konstitusi, yang diputus tanggal 12 April 2005
[5] Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta:
Konsatitusi Press, 2005, hlm. 33
[6] Hans Kelsen, General Theory of Law and State,
Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961, hlm. 155
[7] Ibid., hlm. 157
[8] Ibid
[9] Perdebatan ini juga, terjadi ketika Panitia Ad Hoc 1
Badan Pekerja MPR RI, memperdebatkan untuk mengintrodusir mahkamah konstitusi
dalam UUD 1945. Bahkan suatu ketika Patrialis Akbar, anggota PAH 1 dari Fraksi
Reformasi (gabungan Partai Amnanat Nasional dan Partai Keadilan)
mempertanyakan, bagaimana mungkin 9 orang hakim konstitusi membatalkan putusan
500 orang anggota DPR yang merupakan cerminan kedaulatan rakyat dan Presiden
yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Mereka memperoleh legitimasi kedaulatan
dari mana? Demikian antara lain keberatan yang diajukan oleh Patrialis
Akbar.yang pada akhirnya menerima keberadaan mahkamah konstitusi dalam
perubahan UUD 1945
[10] Lihat Jimly Asshidiqy, op.cit. hlm. 41-47
[11] Secara lengkap dapat dibaca pada Jimly Asshiddiqy dan
Mustafa Fakhri, Mahkamah konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi,
Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum
tata Negara Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara Indponesia, 2003
[12] Constitutional complaint, tidak saja menyangkut
hak warga negara untuk mengajukan komplain terhadap suatu undang-undang yang
merugikan hak-hak konstitusional mereka akan tetapi juga termasuk segala produk
dan tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
[13] Lihat Jimly Asshiddiqy, ibid., hlm., 133-143.
[14] Jimly Asshiddiqy, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Ceramah di Mataram tanggal 27 September 2005
[15] Lihat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2000, tentang
Penugasan badan Pekerja MPR RI untuk mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD
Negara RI Tahun 1945
[16] Uraian lengkap mengenai mekanisme pemberhentian
Presiden menurut UUD 1945, dapat dibaca dalam bukum “Impeachment Presiden,
Alasan-alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden dalam UUD 1945, tulisan
Hamdan Zoelva, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
[17]
Lihta Jimly Ashhiddiqy, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Konstitusi Press, 2005.